Hari ini Selasa, 1 Februari 2022, dan begitu lepas maghrib memasuki 1 Rajab 1443 H.
Kami berdua, saya dan suami menepati janji ke Yazdan, anak semata wayang untuk mengantarkan ke pondok pesantren. Yazdan akan tinggal kembali di pesantren. Sejak Yazdan mengutarakan keinginan tinggal di pesantren saya sudah mulai mempersiapkan hati ini, hingga berbulan-bulan kemudian baru diputuskan dan disepakati. Namun ternyata sepekan sebelum saatnya tiba untuk ditinggal anak mondok di pesantren, kegalauan sudah muncul.
Sebelumnya, Sabtu, 22 Januari 2022 kami bertiga sudah "sowan" ke Kiai Nawawi. Pada pertemuan itu kami memasrahkan dan menitipkan anak untuk dididik. Sebenarnya keesokan harinya Yazdan sudah bisa tinggal di pesantren, tapi kami sepakat 1 Februari saja.
Akhirnya 1 Februari 2022 pun datang. Sejak pagi segala sesuatu yang mau dibawa sudah disiapkan. Pesantren ini masih berada di Jogja, tepatnya di Klitren, dan menjadi bagian dari sekolah Yazdan, hanya berbeda lokasi. Sehingga kami mempersiapkannya dadakan, dan memang ada banyak barang yang belum dibawa karena lupa. Manajemen pesantren juga sangat fleksibel. Jatah libur untuk pulang ke rumah sebulan dua kali pada pekan kedua dan keempat, serta kapan pun bisa mengajukan izin jika ada keperluan keluarga. Hal ini sungguh sangat saya syukuri.
Biasanya anak yang "Mbok-mbok-en", tapi ini saya yang "Anak-anak-en"
Yaps, permasalahan klasik setiap anak mondok di pesantren.
Banyak ibu di luar sana yang dengan bijaksana dan kuat mampu melepas anak menuntut ilmu di pesantren dengan lebih mudah, tapi agaknya hal ini belum berlaku untuk saya. Sejak sebelum berangkat saya sudah diam-diam menangis, dan begitu saya dan suami pulang kembali ke rumah, entah sudah berapa kali air mata tumpah.
Berkali-kali saya katakan dalam hati Ummi 'rida', Ummi 'rida', Dek, sembari bercucuran air mata. Sejak Maret 2020 pandemi menyapa, anak sudah menjalani sekolah secara daring, dan sejak itu waktu banyak dihabiskan di rumah. Satu setengah tahun masa SMP dihabiskan di rumah, dan enam bulan masa SMA juga di rumah saja. Saya tahu anak sudah sangat bosan dan pasti banyak hal yang ingin dilakukan di luar sana. Pasti anak ingin bersosialisasi dan bergaul dengan teman sebaya. Saya memang tidak boleh egois.
Yazdan, semata wayang kami, yang sebagai Abi dan Ummi kami memanggilnya "Adek."
"Ummi akan berusaha ikhlas".
"Ummi rida, Le".
"Ummi kuat dan akan lebih mandiri, Dek."
Yups, Yazdan itu ibarat tangan kanan dan asisten pribadi buat saya.
Setiap sore sebelum saya sampai rumah, Yazdan akan membuka garasi dulu. Kadang dia kirim pesan "Ummi udah mau pulang belum?", dan ini juga kode kalau dia ingin dibelikan cemilan. Biasanya saya mampir swalayan membelikan cemilan kesukaannya. Jika jadwal menyapu dan mengepel rumah, Yazdan yang selalu pertama membantu, menyiapkan pel, bantu nyapu dan ngepel hingga rumah bersih kinclong. Sore hari sesekali saya minta dia untuk mengulang lagi ngepel kamar saya sebelum saya sampai rumah. Meskipun akhir-akhir ini saya sudah melarangnya, dan saya yang ngepel kamar sendiri. Frekuensi nyapu dan ngepel rumah juga sudah tidak sesering dulu sebelum PTM full, karena saya minta Mbak Anti, ART kami untuk ke rumah dua atau tiga kali dalam sepekan.
Saat PTM dapat jadwal pagi, dan siang sudah sampai rumah, Yazdan akan mencuci sendiri semua bajunya, bahkan baju kotor punya saya dan suami, padahal saya sudah melarangnya. Gamis dan jilbab kotor akan direndam terpisah tidak dicampur dengan yang lain, Mamak mana yang tidak melting. Urusan angkat jemuran dan lipat baju pun juga sering dia lakukan, tapi tidak selalu ya, karena lebih sering kami lipat baju bertiga.
Urusan dapur juga sudah cukup lihai, apalagi korah-korah alias isah-isah alias cuci perkakas di dapur. Yazdan langsung akan mencuci tupperware yang saya bawa ke kantor, dapur selalu bersih dari piring dan gelas kotor. Kadang-kadang memang kami bertiga ribut bahkan sampai hompipah untuk menentukan siapa yang akan mencuci piring kotor serta beberes dapur. Tapi jika kondisi saya sedang drop, tanpa disuruh pun dengan penuh kesadaran Yazdan yang akan "action" di dapur. Keahliannya baru sebatas bikin mie, goreng telur atau lauk lainnya, ngangetin makanan yang masih tersisa, mindah nasi dari magic com ke dandang untuk dikukus. Kalau rebus telur kadang masih failed, tapi indomie jumbo buatan Yazdan, beeeeeuh, mantap surantap.
Tugas Yazdan yang lain adalah bertemu kurir dan driver makanan online di depan pagar. Saat kami mau pamitan anak ini sempat berkomentar "Besok Ummi kalau pesan makanan online harus ambil sendiri lho." (saya pun tersenyum kecut sembari saya jawab "Beli makanan online kalau pas Abi di rumah, Dek.")
Pagi hari jika belum ada yang manasi motor, Yazdan yang akan manasi motor, menata sepatu dan sandal yang akan dipakai ke luar rumah. Perhatian-perhatian seperti ini, alhamdulillah, dia duplikasi dari suami. Sering jika saya pergi dan pulang siang pas panas-panasnya, saya minta disiapkan minuman dingin, karena dispenser di rumah bagian air dingin sudah rusak.
Di atas itu semua, perhatian yang paling nyes adalah saat saya kurang sehat. Jika saya misscall dari kamar, Yazdan langsung akan lari dan menuju kamar saya, Sering dia membuatkan air madu, ada dua macam, madu pahit dan madu randu, dipisah dalam cangkir yang berbeda. Takaran air hangat dan rasa madu yang sangat pas. Yazdan juga sigap memapah saya ke kamar mandi, dan menunggu di depan kamar mandi, lalu mengantar saya kembali ke kamar. Mengambilkan keperluan saya yang kebetulan ada di luar kamar, seperti obat, air putih, atau barang lainnya.
Mengingat itu semua, rasanya dalam hati sungguh...nyesek...teramat sedih.
Saya tahu, saya harus menghentikan semua "nyesek" ini, stop nangisnya, stop bapernya, dan berusaha enjoy menjalani hari-hari berdua dengan suami, yang pastinya jika suami pulang terlambat atau akhir pekan ada acara, maka saya di rumah sendirian (cry), Ya Rabb mewek lagi nih.
Kisah Yazdan di pesantren saya lanjutkan di hari lain lagi. Malam ini biarlah saya nikmati dulu air mata yang masih sering keluar. Doa Ummi tidak akan pernah berhenti hingga nafas ini sudah berhenti.
Mohon maaf jika ada beberapa kata yang tidak sesuai dengan KBBI atau pun EYD V.
Mohon dimaklumi juga jika ada kalimat yang membingungkan.
Inilah curhatan bagian pertama dari seorang Ibu yang melepas anaknya menuntut ilmu di pesantren.