Ahad sore, awal 2015 tanggal 4 Januari, cuaca
sejuk, angin sepoi-sepoi, meski mendung masih menggelayut. Kami bertiga, saya,
suami, dan yazdan, jagoan semata wayang duduk manis di depan kotak ajaib yang
bisa keluar gambar dan suara. Kotak ajaib yang telah menemani suami, sejak
beliau belum bertemu saya. Pesawat televisi jadul ukuran 14 inchi dengan body
gendut, belum slim. Acara televisi sore ini sebuah film dengan judul MESTAKUNG,
seMESTA menduKUNG.
Film ini diputar di SCTV, dan saya sudah tahu
iklannya sejak sehari sebelumnya, pas hari sabtu. Selepas dzuhur, saya sudah
menunggu pemutaran film ini. Begitu film tayang, saya agak kaget karena film
ini ber setting di Madura, tempat
suami saya berasal. Sontak saya berteriak “Abi, bangun, filmnya syuting di SMP N 1 Sumenep”. Akhirnya, nongkronglah kami bertiga. (yazdan sering pergi-pergi,
sibuk mempersiapkan semua keperluan untuk edisi perdana masuk sekolah keesokan
harinya, pasca tiga minggu full mendapat jatah libur dari sekolah)
Rasa yang sama, kami rasakan, antara saya dan
suami. Setiap di televisi mengetengahkan Madura, pulau yang kami kunjungi
setiap Idul Fitri tiba. Ada rindu menyeruak, ada kangen yang terbentuk, dan
rasa membuncah ingin pulang. Rasanya scene
demi scene dari film ini tak ingin
terlewatkan, karena semua gambar yang muncul, tentang Sumenep, kabupaten paling
ujung dari Pulau Garam, tempat suami lahir, tumbuh, dan dibesarkan.
Mengisahkan seorang bocah bernama Muhammad
Arif, duduk di bangku SMP, anak cerdas, anak brilliant, ahli di mata pelajaran fisika. Namun, sungguh kasihan,
ditinggal ibunya pergi ke Singapura sebagai TKW, yang tiada kunjung pulang.
Ayahnya, seorang sopir truk pengangkut garam. Pulang sekolah, Arif bekerja
membantu di bengkel, terkadang Arif ikut acara karapan sapi sebagai asisten
peserta karapan. Setiap hari Arif bekerja untuk dapat menabung, uang hasil
penghasilan yang Arif sisihkan, ia rencanakan untuk pergi mencari ibunya.
Tari Hayat, seorang guru dengan orientasi
pada bidang science. Guru yang selalu
membimbing dan memberikan support terhadap Arif. Tari juga yang mendukung
Arif untuk mengikuti lomba fisika. Tari Hayat, berasal dari keluarga berada,
mulanya bekerja di Jakarta dengan penghasilan lebih besar. Hingga sebuah
keputusan besar Tari ambil, pindah ke desa dan bekerja di sekolah kecil di
tingkat Kabupaten.
Sepanjang satu jam film ditayangkan, saya dan
suami sungguh-sungguh dimanjakan dengan pemandangan di Sumenep, tidak
dijelaskan dengan pasti letak desa dan kecamatan lokasi syuting. Namun cukup
mengobati rindu, bagian yang paling saya suka, saat Arif bertemu dengan ayahnya
waktu perjalanan menuju ke Surabaya. Digambarkan pertemuan di depan Masjid
Agung Sumenep, yang memang berada ditengah-tengah kota. Saat yazdan umur
setahunan saya pernah diajak suami mengitari kota Sumenep. Waktu itu memang
jadwal kami pulang kampung saat lebaran tiba.
Selanjutnya syuting berada di Jakarta. Arif “Welcome to the jungle”… yeeeaaaay…, sebagaimana
pada film-film kebanyakan, pasti ada pemain antagonis. Disinilah Arif
mendapatkan cemooh dan ejekan. Mereka berada dalam asrama, bergabung bersama
anak-anak pecinta fisika lainnya, yang akan berlomba di Olimpiade Fisika
Internasional di Singapura.
Arif
mendapatkan teman baik, bernama Muhammad Husni Thamrin, asli Betawi. Mereka
langsung bisa akrab satu sama lain, karena mereka mempunyai kesamaan tujuan ikut dalam komunitas pecinta fisika dan ikut
olimpiade, yakni kecintaan mereka kepada ibunya dan kecintaan mereka pada science. Nilainya Arif belum memberikan
arti yang bisa dibanggakan, bahkan relatif merosot. Hingga membuat Arif keluar
asrama di tengah malam saat hujan deras, Arif berencana kabur, pulang kembali
ke Sumenep.
Saat itulah Arif bertemu Cak Kumis, penjual
ketoprak, sesama asli Madura. Disitulah Arif dinasehati oleh Cak Kumis, bahwa
segala sesuatu harus harus kita lakukan dengan hati. Tidak ada kesuksesan yang
langsung bisa kita raih, semua melalui proses. Tidak ada hal yang instan.
Nasehat itu membuat Arif memutuskan kembali ke asrama. Arif semakin
bersungguh-sungguh dalam melatih dirinya mempelajari fisika secara intens.
Peringkat Arif semakin naik, nangkring ke atas.
Tim inti yang akan berlomba di bidang fisika pun
berangkat ke Singapura, setibanya disana, Arif ditemani Thamrin mendatangi
alamat ibu Arif. Di hari pertama pencarian, nihil, hal inipun membuat Arif
sempat down. Syukurlah, hal ini tidak
mempengaruhi hasil akhir capaian Arif. Hasil akhir kompetisi olimpiade ini Arif
mendapatkan penghargaan luar biasa. Arif pun kembali ke Sumenep, dengan membawa
kebanggan sekaligus kesedihan karena tidak berhasil bertemu dengan ibunya.
Tiba di desanya, Arif disambut oleh guru,
teman-teman, dan ayahnya. Lepas dari pelukan ayahnya, Arif menangis sembari
berkata bahwa ia tidak berhasil menemui ibunya. Namun, tetiba, ayahnya berkata,
“ada yang ingin bertemu denganmu nak”. Sesaat kemudian, muncul wanita cantik
berkerudung dari pintu rumah, dan ternyata ibu, yang selama ini dirindukan oleh
Arif telah kembali. Adegan terakhir ini, yang mendesak airmata saya menetes,
meski saya tahan. Entah kenapa jika menonton tayangan di televisi dan menyentuh
sanubari, meski hasrat airmata untuk tumpah sedemikian mendesak, saya berusaha
tahan saat ada suami dan anak saya. Namun jika saya sendiri, tanpa aba-aba,
airmata saya biarkan meleleh dengan syahdunya.
Teori MESTAKUNG ini dilahirkan oleh Prof. Yohanes Surya, Ph.D, dan film MESTAKUNG ini didedikasikan untuk para putera bangsa yang
siap membela nama baik bangsa dalam ajang perlombaan atau olimpiade skala
internasional.
MESTAKUNG, semesta mendukung
Kalau kita bekerja keras, alam ini akan
mendukung kita. semua digerakkan oleh diri kita. Air, semua molekulnya secara
serentak bekerja bersama-sama mewujud menjadi uap air. Kadang kita tidak
menyadari, secara bersama-sama kita bertepuk tangan, ini yang dinamakan
mestakung.
Dua hal dari kebiasaan orang Madura yang saya
sangat kagumi adalah
1) Kebiasaan
untuk selalu mencium tangan kepada yang lebih tua, meski hanya selisih satu dua
tahun. Kebiasaan di seputaran Jogja Klaten juga ada, biasanya dari adik ke
kakak akan cium tangan, anak ke orang tua, guru ke murid. Kita pun terbiasa.
Namun, jika di Madura, tidak harus dalam hubungan formal. Sesama saudara sepupu
yang lebih muda akan mencium tangan ke yang lebih tua. Sedangkan disini, sesama
saudara sepupu selisih tiga lima tahun pun hanya bersalaman biasa. Di desa
Lobuk, asal suami bahkan ke tetangga yang lebih tua setahun dua tahun juga
mencium tangan, apalagi ke tetangga yang lebih tua. Kalau disini, saya
perhatikan jika tidak ada hubungan darah ya hanya bersalaman biasa saja. Hal
ini membuat saya terbiasa, mencium tangan rekan kerja putri yang lebih tua dari
saya. Saya dan suami selalu mencium tangan budhe pakdhe paklek bulek saudara
kandung ibu dan bapak saya yang tinggal di Klaten, sedang sepupu-sepupu saya
tidak ada yang mencium tangan bapak ibu saya … he he he
2) Kepada yang
lebih tua, orang Madura tidak pernah menyebut “be’na” yang artinya kamu, tapi
biasanya menyebut “mbak” atau “kakak”, atau minimal mereka menggunakan kata
ganti “sampeyan”
(gambar, diambil dari http://indofiles.web.id)